Toad Jumping Up and Down
Red Spinning Heart Within A Heart

Kamis, 04 April 2013

ipa


BAB 6
METODOLOGI ILMU PADA MUMNA :
Abad 19 dan 20

A.           TONGGAK KETIGA : PERKEMBANGAN ABAD KE 19

John Stuart Mill ( 1806 – 1873 ) berusaha merumuskan teknik-teknik indikutif untuk menilai hubungan antara  kesimpulan dengan evidensi atau hal-hal yang menjadi sumbernya. Dalam system of Logic dikemukakan aturan-aturan pembuktian hubungan sebab dan akibat. Filsafat ilm Mill merupakan contoh induktivisme, yaitu sebuah pandangan yang menekankan pentingnya penalaran indktif bagi ilmu. Ia member pernyataan yang sangat tegas dengan tentang penalaran induktif, baik  hubungannya dengan penemuan hukm-hukum ilmiah maupn pembenaran tentang hukum- hukum tersebut.
John Stuart Mill adalah seorang yang berpropaganda efektif dalam penyebaran metode-metode induktif yang dikemukakan oleh Duns Scotus, Ockham, Hume, Herschel, dan sebagainya. Banyak yang menyebut bahwa metode tersebut sebagai metode penyelidikan eksperimental dari Mill. Dia menekankan pada pentingnya metode tersebut dalam penemuan hokum-hukum ilmiah. Ia membahas empat metode induktif, yaitu (1) Metode Persamaan, (2) Metode Perbedaan, (3) Metode Variasi-variasi Konkomitan, dan (4) metode resindu. Adapun ke empat metoda tersebut dinyatakan dalam bentuk bagan-bagan sebagai berikut.
Metoda Persamaan
Kasus
Keadaan-keadaan yang menyebabkan
Gejala
1
ABEF
Abef
2
ACD
Acd
3
ABCE
Afg
Jadi, A mungkin sebab dari a

Metoda Perbedaan
Kasus
Keadaan-keadaan yang menyebabkan
Gejala
1
ABC
a
2
B
-
Jadi, A adalah sebuah bagian yang sangat diperlukan untuk dapat menyebabkan terjadinya a

Metode Variasi-variasi Konkomitan
Kasus
Keadaan-keadaan yang menyebabkan
Gejala
1
A*BC
a+b
2
A°BC
a°bc
3
A¯BC
a-bc
Jadi, A dan a mempunyai  hubungan kuasalitas ( sebab akibat )
Metode Resindu
Kasus
Keadaan-keadaan yang menyebabkan
Gejala
1
ABC adalah sebab dari
abc
2
B adalah sebab dari
b
3
C adalah sebab dari
C
Jadi, A sebab dari a

            John Stuart Mill menegaskan bahwa metode perbedaan merupakan metode terpenting diantara empat metode induksi. Kegunaan metode perbedaan sebagai sebuah metode penemuuan bergantung pada asumsi bahwa semua keadaan yang diteliti mempunyai tingkat yang sama. Karena itu, setiap penyelidikan yang khusus hanya mempertimbangkan sejumlah kecil keadaan. Mill menyatakan bahwa untuk seejumlah besar kasus, skema metode perbedaan adalah memuaskan, sekalipun penyelidikan terbatas pada sejumlah kecil keadaan. Penggunaan metode perbedaan dalam penyelidikan ilmiah memerlukan sebuah hipotesis tentang keadaan-keadaan yang dapat mennjukan kesesuaian dengan peristiwa yang gejalanya dapat diobservasi.
            Pernyataan Mill tentang metode persamaan lebih merendah, ditegaskan bahwa metode persamaan adalah sebuah alat yang berguna untuk penemuan hukum-hukum ilmiah. Tetapi ia mengakui bahwa metode ini terbatas kegunaannya. Salah satu terbatasnya adalah metode ini akan efektif  dalam pencarian hubungan-hubungan kasual, hanya apabila dilaksanakan sebuah inventori yang cermat tentang keadaan-keadaan yang relavan. Apabila keadaan yang relavan dalam setiap kasus terlupakan, pengguna metode persamaan dapat mmenyesatkan peneliti. Oleh karena itu, keberhasilan penggna metode persamaan juga metode perbedaan hanya muungkin apabila berdasarkan hipotesis yang antesenden tentang keadaan-keadaan yang relavan.
            Mill percaya bahwa kemungkinan adanya sebuah kejamakan sebab dapat memberikan kepastian tentang kebenaran kesimpulan yang ditarik dari penggunaan metode perbedaan. Kejamakan sebab tidak hanya tidak mengurangi kepercayaan kemampuan metode perbedaan,  tetapi bahkan tidak mengharuskan perlunya sejumlah besar observasi dan eksperimen. Dua kasus yang satu positif dan yag lainnya negative, sudah cukup uuntuk induksi yang sangat lengkap dan tepat. Oleh karena itu, Mill membagi penyebab yang bersifat jamak menjadi dua kelompok, yaitu : (1) kasus-kasus yang mengadung berbagai sebab yang terus menghasilkan akibat-akibat sendiri-sendiri  secara terpisah attauu Koekstensi bersama dari akibat-akibat yang terpisah-pisah ( Matual Coexsistence of Separate Effects ), dan yang kedua  (2) Kasus-kasus yang mengandung sebuah akibat resultan dari dua macam sebab yang lain dari pada akibat-akibat yang akan dihasilkan oleh sebuah sebab secara terpisah ( Percampuran antar aklibat = Intermixtur of effects). Kelompok kedua di bagi menjadi dua yaitu : (1) Jumlah atau tambahan vektorial dari sebab yang ada, dan (2)  Akibat resultan yang berbeda jenisnya dari beberapa akibat dari sebab-sebab yang terpisah.
            Mill yakin bahwa situasinya menjadi amat berbeda dalam kasus penambahan vektoral dari sebab-sebab  yang ada. Bentuk penyebab jamak ini tidak dapat bertanggung jawabkan keberhasilannya apabila peneliti menggunakan empat macam metode induktif. Mill menyimpulkan bahwa metode-metode induktifnya adalah sia-sia atau tidak berhasil dipergunakan dalam kasus tambahan vektoral dari sebab-sebab yang ada atau penyebab campuran. Oleh karena itu, ia mengusulkan bahwa sebuah metode Deduktif dipergunakan dalam penyelidikan penyebab Campuran.
            Mill mengemukakan tiga tahap dalam menggunakan metode deduktif, yaitu : (1) perumusan seperangkat hukum-hukum, (2) Deduksi atau penjabaran sebuah pernyataan tentang akibat resultan dari sebuah gabungan khusus hukum-hukum tersebut, dan (3) Verifikasi. Sehubung dengan hal ini Mill lebih menyukai bahwa setiap hukum diturunkan atau dijabarkan dari sebuah studi tentang sebab yang relavan, yang bekerja secara terpisah, meskipun ia membolehkan penggunaan hipotesis-hipotesis yang tidak diturunkan oleh gejala. Hipotesis-hipotesis adalah perkiraan-perkiraan tentang sebab yang dapat diharapkan oleh seorang ilmuwan dalam kasus-kasus yang tidak praktis untuk mengusulkan hukum-hukum secara terpisah.
            Mill percaya bahwa verifikasi lengkap untuk menyelidiki penyebab jamak dapat dicapai, meskipun ia sadar bahwa mengeluarkan hipotesis alternative adalah sulit, dan ia sangat berhati-hati  dalam menilai status hipotesis dan teori. Mill mengajurkan bahwa untuk masa yang akan datang, sebuah teori dapat dirumuskan yang menerangkan tidak hanya gejala-gejala yang terjadi sekarang, tetapi juga dapat menyerap dan memancarkan gejala-gejala yang tidak diterangkan oleh teori.
            Mill berpendapat bahwa sebuah tujuan yang penting dari ilmu adalah pembuktian hubungan-hubungan sebab akibat. Ia mendasarkan pembahasan tentang tujuan tersebut pada sebuah analisis tentang posisi hume bahwa hubungan-hubungan sebab akibat tidak ada, tetapi ada konjungsi sekuensial yang tetap antara dua tipe peristiwa. Oleh karena itu, Mill membedakan antara hubungan-hubungan kasual dengan hubungan-hubungan aksidental. Ia menyatakan bahwa sebuah hubungan kasual adalah rangkaian peristiwa yang bersifat tidak berubah –ubah ( invariable )  dan tidak bersyarat ( inconditional ). Karena itu, memperhitungkan kemuungkinan tentang beberapa hubungan yang tetap adalah bkan kasual.
            Mill menuntut bahwa kebenaran hukum tentang penyebab terbentuk dari dasar-dasar empiris, dan ia mengakuui bahwa dalam tnttan tersebuut, ia dihadapkan dengan sebah paradoks. Paradoks tersebt adalah, apabila hukum tentang penyebab ituu akan dibuktikan melalui pengalaman, maka hal itu hars dengan semdirinya menjadi kesimpulan dari sebuah penalaran induuktif. Tetapi setiap penalaran induktif yang membuktikan kesimpulannya memperkirakan kebenaran tentang hukum penyebab.
            Dengan demikian, Mill menyatakan telah meragkan bahwa sebuah penalaran induktif dengan perhitungan sederhana dari premis-premis empiris membuktikan hukum tentang penyebab menjadi sebuah kebenaran yang bersifat mewajibkan. Bahkan apabila Mill dapat membuatpernyataannya menjadi baik bahwa tidak perbah ada sebuah kecuali yang dapat dipercaya untuk hukm tentang penyebab, hal ini tidak akan membuuktikan bahwa hkm tentang penyebab menjadi sebuah kebenaran yang bersifat mewajibkan.
            Pendapat Mill yang induuktivis tentang pola pembenaran segera di tentang oleh Jevons. William Syanley Jevons ( 1835-1882 ) melukiskan sebuah pandangan deduktif -  hipotetico tentang prosedur ilmiah, yang terdiri atas tiga tahap, yaitu :  ( 1) Permusan  tentang sebuah hipotesis dalam sebuah hukum umum, (2) Deduksi akiibat-akibat yang dijabarkan dari hukum, dan (3) perbandingan akibat-akibat tersebut dengan hasil observasi. Jevons menyatakan bahwa untuk membenarkan sebuah hukum umum, seseorang harus mengerjakan dua hal. Pertama, seseorang harus menunjukan bahwa hukum tersebut adalah konsisten dengan hukum –hukum lain yang sudah sangat mantap. Kedua, seseorang hars menunjukan akibat-akibatnya sesuai dengan hasil-hasil observasi. Atas dasar ituu, Jevons menolak pendapat Mill yang menyatakan bahwa pembenaran hukum-hukum adalah dengan pembatasan skema induuktif.
            Dalam kaitanya dengan kasus menerangkan, seseorang mulai dengan sebah pernyataan ttentang sebuah gejala yyang harus diterangkan, dan mengemukakan seperangkat hukum-hukum dan pernyataan-pernyataan tentang kondisi antesenden yang didalamnya terkandung makna pernyataan tentang gejala. Perrnyataan tentang gejala tersebuut memerlukan informasi khusus tenntang keadaan-keadaan yang mendahluinya ( antesenden). Keadaan-keadaan yang atesenden tersbut, baik keadaan-keadaan yang menjadi batas dalam hukum yang dipercaya dapat dipergunakan, maupun keadaan awal yang disadari mendahului gejala yang harus diterangkan atau disadari pada waktu yang sama sebagai gejala yang harus diterangkan. Hempel dan Oppenheim menyatakan bahwa sebuah ukuran tentang aksepstabilitas, sebuah hukum unifersal harus memuaskan adalah prediksi yang dijabarkan dari hukum tersebut mengikuti skema sesuai hasil-hasil obserfasi. Selanjutnya Haempel menekan kan bahwa akseptabilitas dari sebuah hukum bergantung  pada kuantitas, varietas, dan presisi dari evidensi yang di pergunakan. 
            Hempel, Nagel, dan tokoh-tokoh lain nya telah menunjukan bahwa universal-universal aksidental, demikian pula universal-universal asli atau nomologikal dapat berfungsi sebagai premis dalam skema pembenaran deduktif. Misalnya,generalisasi “semua burunggagak adalah hitam”  dapat di benarkan dalam banyak kasus. Dan generalisasi “Semua mata uang yang sekarang ada dalam kantung saya berisi tembaga” , dapat dibenarkan melalui sebah analisis kimia tentang sejumlah tertentu mata uang.   Nagel mengusulkan sejumlah kriteria untuk membedakan universal aksidental. Misalnya, ia mengeluarkan dari kelas universal-universal nomologikal generalisasi – generalisasi, evidensi yang bertepatanata serupa dengan lingkup prediksinya. Selain itu, Nagel menyatakan bahwa lingkup dari sebuah universal nomologikal terbuka untuk tambahan  lebih lanjut. Apabila keyakinan tersebut dijamin, maka sangatlah mungkin bahwa hukum mempunyai duukungan, karena hukum yang sedang dibicarakan mempunyai dukungan teoritis dalam arti mempunyai hubungan dengan baik dengan hukum-hukum lainnya.
Philipp Frank (1884-1966) dalam pembahasan nya tentang kauasalitas, dan berbagai interpretasi tentang mekanika quantum dan teori relatifitas di tandai oleh sebuah tilikan yang tajam dalam metodologi yang di pergnakan secara actual oleh para ilmuan. Philipp Frank menekan kan bahwa “kesesuaian dengan hasil-hasil observasi” dan kesederhanaan adalah persyaratan-persyaratan yang berlawanan. Ia menegaskan bahwa kesesuaian yang sempurna dengan hasil-hasil observasi dapat di capai hanya dengan laporan dalam rangkuman data yg telah di kumpulan. Frank mengakui bahwa konsep kesederhanaan, yang di susun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keindahan atau pertimbangan-pertimbangan heutristik, adalah sebah konsep yang sulit unt mengedepankan bukti-bukti, tetapi ia menekankan bahwa para ilmuan berupaya agar sebah konsep menjadi menarik
Ernets Mach (1838-1916) memberikan sumbangan pada mekanika, akoustika, thermodinamika, psikologi eksperimental, dan pilsafat ilmu, antara lain menyatakan bahwa ilmu hendak nya tertuju pada menyusun sebuah deskripsi yang ekonomis (efisien) tentang hubungan di antara gejala-gejala. Mach mengembangkan sebuah kritik terhadap filsapat ilmu newton yang sejajar dengan kritik yang di lancarkan oleh Berkeley. Ia mengajurkan sebuah prinsip ekonomi sebagai sebuah prinsip yang mengatur daya upaya urusan ilmiah. Ia menyatakan bahwa ilmu sendiri dapat dipandang sebagai sebuah masalah meminimumkan, terdiri dari firasat yang mungkin terlengkap tentang fakta-fakta dengan pengeluaran biaya pemikiran yang sesedikit mngkin atau the last possible expenditure of thought.
Mach menekankan bahwa sebuah cara yang sangat efektif dalam mencapai efisiensi penyajian adalah melalui perumusan teori-teori yang komprehensif dan dengan demikian, hukum-hukum empiris dideduksi atau dijabarkan dan sejumlah kecil prinsip-prinsip umum. Ia jga menyebarkan keyakinan Berkeley bahwa adalah sebuah kesalahan apabila mengasumsikan bahwa konsep-konsep dan hubungan-hubungan yang terdapat dalam ilmu mempunyai kesesuaian dengan apa yang ada dalam alam. Misalnya, ia mengakui bahwa teori-teori tentang atom mngkin dapat berguna untuk memberikan deskripsi tentang gejala tertentu, tetapi hal itu tidak memberikan evidensi tentang adanya atom dalam alam. Mach berusaha merumuskan kembali mekanika Newton dari titik pandang fenomenalis. Dengan jalan mermuuskan kembali mekanika Newton, ia berharap dapat membebaskan mekanika dari spekulasi metafisis tentang gerak dalam ruang dan waktu absolute. Mach menekankan bahwa generalisasi dari hasil perumusan kembalinya itu menjadi berarti secara empiris, hanya apabila prosedur-prosedur dan interval-interval waktu. Menurut Mach interval-interval waktu harus diukur melalui proses fisikal.
Henri Poincare ( 1854-1912 ) member sumbangan pada matematika murni, mekanika angkasa, dan filsafat ilmu yang antara lain menekankan peranan konvensi dalam perumsan teori-teori ilmiah. Apabila sebuah hukum adalah benar secara a piori, hal itu adalah karena telah dinyatakan dalam sebuah cara dengan sedemikian lupa sehingga tidak ada evidensi empiris dapat berlaku terhadapnya. Menurut Poincare, hukum-hukum ilmiah yang bersifat umuum hanyalah konvensi-konvensi yang mengidentivikasikan konsep-konsep ilmiah yang pokok. Hukum-hukum tersebut tidak hanya mempunyai sebuah fungsi yang sah sebagai konvensi-konvensi, tetapi jga mempunyai sebuah fungsi sebagai generalisasi-generalisasi empiris.