Toad Jumping Up and Down
Red Spinning Heart Within A Heart

Sabtu, 18 Mei 2013


Makalah Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
George R. Knight (1982:6) mengatakan bahwa filsafat tradisional mempunyai kesamaan mendasar yaitu mengarahkan pemikirannya pada metafisika sebagai isu utama. Lain halnya dengan filsafat modern, ada perubahan yang jelas secara hierarkis mengenai arti penting dari tiga kategori filsafat yang mendasar . Perubahan ini dipicu oleh adanya penemuan sains modern. Beberapa abad lamanya perspektif filsafat dan pengetahuan tentang manusia cenderung stabil. Perubahan dimulai pada abad XVII dan XVIII, dimulai dengan penemuan ilmiah dan teori-teori ilmiah. Kemudian diikuti dengan teknologi yang menyebabkan revolusi industri. Dari sinilah terjadi diskontinuitas dengan pola sosial dan pemikiran filsafat tradisional di dunia Barat. 
Pada zaman modern manusia menolak pandangan tentang kebenaran absolut yang sifatnya statis. Dari sudut pandang manusia, kebenaran merupakan kebenaran manusia yang relatif  dan hal itu berarti tidak ada kepastian universal. Hal inilah yang menyebabkan filsafat modern menolak masalah kenyataan terakhir dan fokus pada  pendekatan relatif mengenai kebenaran dan nilai dari perspektif kelompok (pragmatisme) dan dari sudut pandang individualisme (eksistensialisme). Kalau pragmatisme lebih memfokuskan pada sisi epistemologi sebagai isu utama filsafatnya,  eksistensialisme  memfokuskan diri pada aksiologi. 
Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat antropologis, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai salah satu bentuk dari humanisme. Hal ini juga diakui oleh Jean-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis yang sangat terkenal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tulisan ini secara khusus akan membahas  permasalahan :
1.                  Apa Eksistensialisme itu?
2.                  Bagaimana latar belakang Eksistensialisme?
3.                  Apa saja ciri-ciri dari Eksistensialisme?
4.                  Apa hubungan Eksistensialisme dengan aspek filosofis pendidikan?
5.                  Analisis pendidikan Eksistensialisme?
1.3 Tujuan
Maka dari rumusan masalah tersebut, akan dapat diketahui secara langsung :
1.                  Pengertian dari Eksistensialisme
2.                  Latar belakang Eksistensialisme
3.                  Ciri-ciri dari Eksistensialisme
4.                  Hubungan Eksistensialisme dengan aspek filosofis pendidikan
5.                  Pendidikan yang menggunakan filsafat Eksistensialisme
BAB II
ISI
2.1 Latar Belakang Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah salah satu pendatang baru dalam dunia filsafat. Eksistensialisme hampir sepenuhnya merupakan produk abad XX. Dalam banyak hal. eksistensialisme lebih dekat dengan sastra dan seni daripada filsafat formal. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensialisme memusatkan perhatiannya pada emosi manusia daripada pikiran.
Individualisme adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang individual yang mempunyai tujuan.
Eksistensialisme berakar pada karya Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Kedua orang ini bereaksi terhadap impersonalisme dan formalisme dari ajaran Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Kierkegaard mencoba merevitalisasi ajaran Kristen dari  dalam dengan memberi tempat pada individu dan peran pilihan dan komitmen pribadi. Pada sisi lain, Nietzsche menolak Kekristenan, menyatakan kematian Tuhan dan memperkenalkan ajarannya tentang superman (manusia super).
Eksistensialisme telah berpengaruh  khususnya sejak perang  dunia II. Pencarian kembali akan  makna menjadi penting dalam dunia yang telah menderita depresi berkepanjangan dan diperparah dengan dua perang dunia yang dampaknya ternyata sangat besar. Hal ini kemudian menjadi pemicu bagi kaum eksistensialis memperbaharui pencarian akan makna dan signifikansi sebagai akibat dari adanya dampak sistem industri modern yang mendehumanisasikan manusia. Eksistensialisme merupakan penolakan yang luas terhadap masyarakat yang telah merampas individualitas manusia. Juru bicara eksistensialisme yang berpengaruh pada abad XX termasuk  adalah Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre dan Albert Camus.
Sebagai pendatang baru dalam dunia filsafat, eksistensialisme memfokuskan utamanya pada masalah filsafat  dan belum begitu eksplisit terhadap praktik-praktik pendidikan. Beberapa pengecualian ditemukan pada tokoh-tokoh seperti Martin Buber, Maxine Greene, George Kneller dan Van Cleve Morris. Eksistensialisme bukanlah filsafat yang sistematis, tetapi memberi semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan.
2.2 Tokoh-tokoh Eksistensialisme
Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda0benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri
2.3 Ciri-ciri Eksistensialisme
Eksistensialisme tidak harus dipandang sebagai sebuah aliran filsafat dalam arti yang sama  sebagaimana tradisi filsafat sebelumnya. Eksistensialisme mempunyai  ciri:
  1. penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu;
  2. tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama)
  3. sangat  tidak puas  dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
2.4 Aspek Filosofis
2.4.1.Ontologi (Realitas)
Menurut eksistensialisme , ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan skeptic. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Jadi pengalaman tidak banyak berpengaruh terhaaadap diri individu. Filsafat skeptic berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada sesuatu pun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa konsep metafisika adalah sementara.
                        Eksistensialisme menolak kedua pandangan filsafat diatas. Ia menolak pandangan spekulatif dengan mengemukakan pandangannya, bahwa manusia dapat menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi , bahwa yang nyata adalah kita yang alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi manusia.
                        Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna karena manusia.
                        Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard. Inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar : Apa kehidupan manusia? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna “eksis” (berada) dari manusia. Tokoh-tokoh eksistensialisme lainnya antara lain : Martin Buber , Martin Heidegger, Jean-Paul Satre, Karl Jasper dan lain-lainnya.
                        Bagi eksistensialisme , benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berad adiluar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusiaan secara langsung.
                        Paham eksistensialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda-beda. Namun, pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan-pandangan mereka dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut antara lain :
a)      Motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistik.
b)      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c)      Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesame manusia.
d)     Eksistensialisme member tekanan pada pengalaman konkrit , pengalaman yang eksistensial (harun hadi wijono, 1980:14).
2.4.2 Epistemologis (Pengetahuan)
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,suatu pandangan yang menggambarkan penamapakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa bagaimana benda-benda tersebut menampakan rinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas,tergantung pada interfretasi manusia terhadap realitas,pengetahuan yang diberikan disekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak ,melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembanagan dan alat pemenuhan diri. pelajaran disekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri,bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut.barkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2.4.3 Aksiologi(Nilai)
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai,menekanakan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat,dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri,dan mungkin juga untuk suatu tujuan.sesorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila sesorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat,maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya,sebagai tujuannya sendiri,yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
2.5 Analisis Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai mahluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya . dalam hubungannya dengan pendidikan, sikun pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena kedunya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama , yaitu manusia , hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah ’ keberadaan’ manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
2.5.1 Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya , sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan di tentukan berlaku seca umum.
2.5.2 Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apkah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene ”kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yamg member para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri .
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting dari pada yang lainnya.mata pelajaran merupakan materi dimana individu kan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas adalah mata pelajaran ipa,sejarah,sastra,filsafat dan seni.bagi beberapa anak, pelajaran dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah ipa, namun bagi yang lainnya mungkun saja bisa sejarah,filsafat, sastra dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termanshur, memahami hakikat manusia di dunia,memahami kesalahan dan kebenaran, kejuasaan ,kekuasaan,konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yamg akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensilis melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusi mencapai kebebasan siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajarinya dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang di pelajarinya . sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya, serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksintensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut di perlukan agar individu dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus di dorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan,serta memperoleh pengetahuan yang di nharapkan . hal tersebut seperti yang pernah dikemukakan oleh Elis(1981:95):
“ the humanities and the arts are oftenviewed as appropriate subject areas which further the necessary introspection and reflection. Students are encouraged to pursue project that will help them develop needed skill and requisite knowledge “.
Palajaran secara perorangan harus mengunakan pengalaman-pengalaman , lapangan mata pelajaran, dan keterampilan intelektual  untuk mencapai pemenuhan diri dan  lebih menekankan pada berpikir reflektif sekolah merupakan tempat untuk hidup dan memilih pengalaman-pengalaman. Eksistensilisme menolak apa yang disebut penonton teori pengrtahuan olehkarena itu , sekolah harus mencoba membawa siswa kedalam hidup yang sebenarnya.
2.5.3 Proses Belajar Mengajar
Menurut kneller (1971) konsep belajar mengajar eksisten-sialisme dapat di aplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”.dialog  merupakan percakapan antra pribadi dengan pribadi,di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku” dan “engkau”(tuhan). Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan”, dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai subjek. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan anak dipaksa menyerah pada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel dimana guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan denga instruktur, maka ia hanya akan merupakan pelantara yang sederhana antara materi pelajaran dengan siswa. Seandainya guru dianggap seorang indtruktur, ai akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut pengetahuan akan menguasai manusi, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar ,pengetahuan tudak dilimpahkan , melainkan ditawarkan . untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu tersebut, sehingga guru akan berjumpa dengan siwa sebagai pertemuan antara pribadi denga pribadi. Pengetahuan yang akan ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya,melainkan merupaka suatu aspek yang telah menjadi mliknya sendiri.
2.5.4        Peranan Guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak ber-makna apa-apa , dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusi temukan sendiri didalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki , masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagai mana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (parkai,1998) , seornag filosof pendidikan terkenal yang karyanya di dasarkan pada eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita , menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami duni dari sudut pendirian bersama “urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan member mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,tidak berarti bahwa siswa boleh melakukan apa saja yang mereka sukai: logika menunjukan bahwa kebebsan memiliki aturan, dan rasa hormat akan kebebasan oaranglain itu penting.
Guru hendaknya memberi semangat pada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa,dan mengajukan ide-ide lain , kemudian membimbing siswa untuk memlih alternatif-alternatif lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif sehingga siwa akan melihat , bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia , melainkan dipilih oleh manusia . lebih dari itu siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar , bukan penonton. Siswa harus ba]elajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mapu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti , guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi . gurui hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran . diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme siswa memioliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran . sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mapu berdialog dengan teman-tamannya , dan guru membantu menjelaskan kemampuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Power(1982)mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme sebagai berikut :
1)      Tujuan pendidikan
Member bekal pengalaman yang luas dan komprehensf dalam semua bentuk kehidupan
2)      Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan dan tanggung jawab atas pilihannya . suatu komimen terhadap pemenuhan tujuan pribadi .
3)      Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia kebebasan memiliki aturan-aturan . oleh nkarena itu  , disekolah diajarkan pendidikan sosial , untuk mengajar “respek”(rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik
4)      Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik , dimana mungkin guru pada hari ini , besok lusa mungkin menjadi murid
5)      Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode , tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik.
2.4.4        Potret Guru  Eksistensialis
Setelah ia memulai mengajar Bahasa Inggris delapan tahun lalu di suatu SMU daerah pinggiran kota, Fred Winston mulai meragukan nilai dari apa yang ia ajarkan pada siswa. Sekalipun ia dapat melihat suatu penggunaan praktis yang terbatas pada pengetahuan dan keterampilan yang ia ajarkan, ia merasa tidak optimal dengan pekerjaan mengajar yang ia lakukan dan muncullah suatu rasa bosan dengan petunjuk kurikulum yang telah digariskan dalam dalam GBPP  secara sentralistik dan tidak imaginatif.
Selama delapan tahun Fred secara gradual mengembangkan suatu gaya mengajar  yang menempatkan penekanan pada siswa yang mencari siapa mereka . ia terus mengajar pengetahuan dan keterampilan yang harus ia ajarkan , namum ia memperjelas bahwa apa dipelajari para siswa dari dirinya haruslah digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting bagi mereka . misalnya saat ini ia sering member tugas-tugas menulis yang mendorong para siwa untuk melihat kedalam agar dapat mengembangkan pengetahuan diri yang lebih besar . fred juga dengan teliti , tahu tentang bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang mulai dihadapi para siswanya dengan pertanyaan –pertanyaan yang masih berusaha dijawab dirinya sendiri.
Pendekatan Fred pada pengajaran munkin terangkum dengan stiker bemper pada mobil sport”gugat otoritas”. Berbeda dengan kebanyakan rekan gurunya , ia menginginkan para siswanya bereaksi secara kritis dan skeptic pada apa yang ia ajarkan pada mereka . ia juga mendorong mereka untuk berpikir secara mendalam dan berani mengenai makna kehidupan , kecantikan ,cinta, dan kematian. Ia menilai keefektifannya dengan tataran dimana para siswa mampu dan mau menjadi lebih tahu tentang pilihan-pilihan yang terbuka bagi mereka.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah sedikit mengenal filsafat eksistensialisme serta implikasinya terhadap pendidikan, dapat dikemukakan sedikit refleksi sebagai berikut.
Setiap pemikiran filsafat lahir tidak pernah lepas dari konteks zamannya, demikian pula dengan  eksistensialisme. Eeksistensialisme mengedepankan otonomi manusia dalam berhadapan dengan perkembangan sains dan teknologi. Secara epsitemologis, ada hal yang menarik dari eksistensialisme, bahwa manusia hendaknya menjadi manusia yang autentik, yang jujur dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya secara bertanggung jawab dengan rasionalitas dan perasaannya, tidak mencari justifikasi dan legitimasi dari sesuatu yang seakan-akan berada di luar dirinya, tetapi sebenarnya adalah kehendak diri yang dibalut norma sosial atau norma agama. 
Eksistensialisme menjadi tonggak penting perkembangan pendidikan. Pendidikan yang kembali kepada otonomi manusia atas alam, otonomi atas kehidupan. Manusia adalah subjek bagi kehidupan, maka tidak boleh direduksi menjadi sekrup dalam mesin ilmu pengetahuan dan teknologi. Eksistensialisme memberikan pencerahan bahwa pendidikan tidak semestinya membelenggu manusia. Oleh karena manusia adalah makhluk yang bebas dan kreatif, maka pendidikan harus pula menjadi wahana pembebasan dan kreativitas manusia. Dengan kata lain, pendidikan yang diilhami oleh eksistensialisme adalah pendidikan yang membumi, yang berhadapan dengan masalah-masalah kehidupan kongkrit yang dihadapi manusia. Hal ini ada kesejalanan dengan acuan filosofis strategi pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional perlu memiliki karakteristik yang (a) mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan dan peradaban; (b) mendukung diseminasi nilai keunggulan; (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagaman; (d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral.
DAFTAR PUSTAKA
Fasli Jalal & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta; Depdiknas – Bappenas - Adicita.Karya Nusa
Gutek,  Gerald L. 1988. Philosophical and Ideological Perspectives on Education. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Knight, George. R, 1982. Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan: Andrews University Press.
Notonagoro, 1987. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Penerbit Pancuran Tujuh.

0 komentar:

Makalah Filsafat Pendidikan Eksistensialisme



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
George R. Knight (1982:6) mengatakan bahwa filsafat tradisional mempunyai kesamaan mendasar yaitu mengarahkan pemikirannya pada metafisika sebagai isu utama. Lain halnya dengan filsafat modern, ada perubahan yang jelas secara hierarkis mengenai arti penting dari tiga kategori filsafat yang mendasar . Perubahan ini dipicu oleh adanya penemuan sains modern. Beberapa abad lamanya perspektif filsafat dan pengetahuan tentang manusia cenderung stabil. Perubahan dimulai pada abad XVII dan XVIII, dimulai dengan penemuan ilmiah dan teori-teori ilmiah. Kemudian diikuti dengan teknologi yang menyebabkan revolusi industri. Dari sinilah terjadi diskontinuitas dengan pola sosial dan pemikiran filsafat tradisional di dunia Barat. 
Pada zaman modern manusia menolak pandangan tentang kebenaran absolut yang sifatnya statis. Dari sudut pandang manusia, kebenaran merupakan kebenaran manusia yang relatif  dan hal itu berarti tidak ada kepastian universal. Hal inilah yang menyebabkan filsafat modern menolak masalah kenyataan terakhir dan fokus pada  pendekatan relatif mengenai kebenaran dan nilai dari perspektif kelompok (pragmatisme) dan dari sudut pandang individualisme (eksistensialisme). Kalau pragmatisme lebih memfokuskan pada sisi epistemologi sebagai isu utama filsafatnya,  eksistensialisme  memfokuskan diri pada aksiologi. 
Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat antropologis, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai salah satu bentuk dari humanisme. Hal ini juga diakui oleh Jean-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis yang sangat terkenal.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, tulisan ini secara khusus akan membahas  permasalahan :
1.                  Apa Eksistensialisme itu?
2.                  Bagaimana latar belakang Eksistensialisme?
3.                  Apa saja ciri-ciri dari Eksistensialisme?
4.                  Apa hubungan Eksistensialisme dengan aspek filosofis pendidikan?
5.                  Analisis pendidikan Eksistensialisme?
1.3 Tujuan
Maka dari rumusan masalah tersebut, akan dapat diketahui secara langsung :
1.                  Pengertian dari Eksistensialisme
2.                  Latar belakang Eksistensialisme
3.                  Ciri-ciri dari Eksistensialisme
4.                  Hubungan Eksistensialisme dengan aspek filosofis pendidikan
5.                  Pendidikan yang menggunakan filsafat Eksistensialisme
BAB II
ISI
2.1 Latar Belakang Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah salah satu pendatang baru dalam dunia filsafat. Eksistensialisme hampir sepenuhnya merupakan produk abad XX. Dalam banyak hal. eksistensialisme lebih dekat dengan sastra dan seni daripada filsafat formal. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensialisme memusatkan perhatiannya pada emosi manusia daripada pikiran.
Individualisme adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang individual yang mempunyai tujuan.
Eksistensialisme berakar pada karya Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Kedua orang ini bereaksi terhadap impersonalisme dan formalisme dari ajaran Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Kierkegaard mencoba merevitalisasi ajaran Kristen dari  dalam dengan memberi tempat pada individu dan peran pilihan dan komitmen pribadi. Pada sisi lain, Nietzsche menolak Kekristenan, menyatakan kematian Tuhan dan memperkenalkan ajarannya tentang superman (manusia super).
Eksistensialisme telah berpengaruh  khususnya sejak perang  dunia II. Pencarian kembali akan  makna menjadi penting dalam dunia yang telah menderita depresi berkepanjangan dan diperparah dengan dua perang dunia yang dampaknya ternyata sangat besar. Hal ini kemudian menjadi pemicu bagi kaum eksistensialis memperbaharui pencarian akan makna dan signifikansi sebagai akibat dari adanya dampak sistem industri modern yang mendehumanisasikan manusia. Eksistensialisme merupakan penolakan yang luas terhadap masyarakat yang telah merampas individualitas manusia. Juru bicara eksistensialisme yang berpengaruh pada abad XX termasuk  adalah Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre dan Albert Camus.
Sebagai pendatang baru dalam dunia filsafat, eksistensialisme memfokuskan utamanya pada masalah filsafat  dan belum begitu eksplisit terhadap praktik-praktik pendidikan. Beberapa pengecualian ditemukan pada tokoh-tokoh seperti Martin Buber, Maxine Greene, George Kneller dan Van Cleve Morris. Eksistensialisme bukanlah filsafat yang sistematis, tetapi memberi semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan.
2.2 Tokoh-tokoh Eksistensialisme
Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda0benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri
2.3 Ciri-ciri Eksistensialisme
Eksistensialisme tidak harus dipandang sebagai sebuah aliran filsafat dalam arti yang sama  sebagaimana tradisi filsafat sebelumnya. Eksistensialisme mempunyai  ciri:
  1. penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu;
  2. tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama)
  3. sangat  tidak puas  dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
2.4 Aspek Filosofis
2.4.1.Ontologi (Realitas)
Menurut eksistensialisme , ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan skeptic. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Jadi pengalaman tidak banyak berpengaruh terhaaadap diri individu. Filsafat skeptic berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada sesuatu pun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka menganggap bahwa konsep metafisika adalah sementara.
                        Eksistensialisme menolak kedua pandangan filsafat diatas. Ia menolak pandangan spekulatif dengan mengemukakan pandangannya, bahwa manusia dapat menemukan kebenaran yang fundamental berargumentasi , bahwa yang nyata adalah kita yang alami. Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada di luar kondisi manusia.
                        Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna karena manusia.
                        Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard. Inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar : Apa kehidupan manusia? Apa pemecahan yang konkret terhadap persoalan makna “eksis” (berada) dari manusia. Tokoh-tokoh eksistensialisme lainnya antara lain : Martin Buber , Martin Heidegger, Jean-Paul Satre, Karl Jasper dan lain-lainnya.
                        Bagi eksistensialisme , benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berad adiluar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusiaan secara langsung.
                        Paham eksistensialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda-beda. Namun, pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan-pandangan mereka dapat digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut antara lain :
a)      Motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah apa yang disebut “eksistensi”, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu, bersifat humanistik.
b)      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan.
c)      Manusia dipandang sebagai makhluk terbuka, realitas yang belum selesai, yang masih dalam proses menjadi. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih lagi terhadap sesame manusia.
d)     Eksistensialisme member tekanan pada pengalaman konkrit , pengalaman yang eksistensial (harun hadi wijono, 1980:14).
2.4.2 Epistemologis (Pengetahuan)
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,suatu pandangan yang menggambarkan penamapakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa bagaimana benda-benda tersebut menampakan rinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas,tergantung pada interfretasi manusia terhadap realitas,pengetahuan yang diberikan disekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak ,melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembanagan dan alat pemenuhan diri. pelajaran disekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri,bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut.barkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2.4.3 Aksiologi(Nilai)
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai,menekanakan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat,dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri,dan mungkin juga untuk suatu tujuan.sesorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila sesorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat,maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya,sebagai tujuannya sendiri,yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
2.5 Analisis Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai mahluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya . dalam hubungannya dengan pendidikan, sikun pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena kedunya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama , yaitu manusia , hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah ’ keberadaan’ manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
2.5.1 Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya , sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan di tentukan berlaku seca umum.
2.5.2 Kurikulum
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apkah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene ”kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yamg member para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri .
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting dari pada yang lainnya.mata pelajaran merupakan materi dimana individu kan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas adalah mata pelajaran ipa,sejarah,sastra,filsafat dan seni.bagi beberapa anak, pelajaran dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah ipa, namun bagi yang lainnya mungkun saja bisa sejarah,filsafat, sastra dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termanshur, memahami hakikat manusia di dunia,memahami kesalahan dan kebenaran, kejuasaan ,kekuasaan,konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yamg akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensilis melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusi mencapai kebebasan siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajarinya dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang di pelajarinya . sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya, serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksintensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut di perlukan agar individu dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus di dorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan,serta memperoleh pengetahuan yang di nharapkan . hal tersebut seperti yang pernah dikemukakan oleh Elis(1981:95):
“ the humanities and the arts are oftenviewed as appropriate subject areas which further the necessary introspection and reflection. Students are encouraged to pursue project that will help them develop needed skill and requisite knowledge “.
Palajaran secara perorangan harus mengunakan pengalaman-pengalaman , lapangan mata pelajaran, dan keterampilan intelektual  untuk mencapai pemenuhan diri dan  lebih menekankan pada berpikir reflektif sekolah merupakan tempat untuk hidup dan memilih pengalaman-pengalaman. Eksistensilisme menolak apa yang disebut penonton teori pengrtahuan olehkarena itu , sekolah harus mencoba membawa siswa kedalam hidup yang sebenarnya.
2.5.3 Proses Belajar Mengajar
Menurut kneller (1971) konsep belajar mengajar eksisten-sialisme dapat di aplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”.dialog  merupakan percakapan antra pribadi dengan pribadi,di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku” dan “engkau”(tuhan). Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan”, dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai subjek. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan anak dipaksa menyerah pada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel dimana guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan denga instruktur, maka ia hanya akan merupakan pelantara yang sederhana antara materi pelajaran dengan siswa. Seandainya guru dianggap seorang indtruktur, ai akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut pengetahuan akan menguasai manusi, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar ,pengetahuan tudak dilimpahkan , melainkan ditawarkan . untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu tersebut, sehingga guru akan berjumpa dengan siwa sebagai pertemuan antara pribadi denga pribadi. Pengetahuan yang akan ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya,melainkan merupaka suatu aspek yang telah menjadi mliknya sendiri.
2.5.4        Peranan Guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak ber-makna apa-apa , dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusi temukan sendiri didalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki , masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagai mana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (parkai,1998) , seornag filosof pendidikan terkenal yang karyanya di dasarkan pada eksistensialisme: “kita harus mengetahui kehidupan kita , menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami duni dari sudut pendirian bersama “urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan member mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,tidak berarti bahwa siswa boleh melakukan apa saja yang mereka sukai: logika menunjukan bahwa kebebsan memiliki aturan, dan rasa hormat akan kebebasan oaranglain itu penting.
Guru hendaknya memberi semangat pada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa,dan mengajukan ide-ide lain , kemudian membimbing siswa untuk memlih alternatif-alternatif lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif sehingga siwa akan melihat , bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia , melainkan dipilih oleh manusia . lebih dari itu siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar , bukan penonton. Siswa harus ba]elajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mapu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti , guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi . gurui hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran . diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme siswa memioliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran . sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mapu berdialog dengan teman-tamannya , dan guru membantu menjelaskan kemampuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
Power(1982)mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme sebagai berikut :
1)      Tujuan pendidikan
Member bekal pengalaman yang luas dan komprehensf dalam semua bentuk kehidupan
2)      Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan dan tanggung jawab atas pilihannya . suatu komimen terhadap pemenuhan tujuan pribadi .
3)      Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia kebebasan memiliki aturan-aturan . oleh nkarena itu  , disekolah diajarkan pendidikan sosial , untuk mengajar “respek”(rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik
4)      Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik , dimana mungkin guru pada hari ini , besok lusa mungkin menjadi murid
5)      Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode , tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik.
2.4.4        Potret Guru  Eksistensialis
Setelah ia memulai mengajar Bahasa Inggris delapan tahun lalu di suatu SMU daerah pinggiran kota, Fred Winston mulai meragukan nilai dari apa yang ia ajarkan pada siswa. Sekalipun ia dapat melihat suatu penggunaan praktis yang terbatas pada pengetahuan dan keterampilan yang ia ajarkan, ia merasa tidak optimal dengan pekerjaan mengajar yang ia lakukan dan muncullah suatu rasa bosan dengan petunjuk kurikulum yang telah digariskan dalam dalam GBPP  secara sentralistik dan tidak imaginatif.
Selama delapan tahun Fred secara gradual mengembangkan suatu gaya mengajar  yang menempatkan penekanan pada siswa yang mencari siapa mereka . ia terus mengajar pengetahuan dan keterampilan yang harus ia ajarkan , namum ia memperjelas bahwa apa dipelajari para siswa dari dirinya haruslah digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting bagi mereka . misalnya saat ini ia sering member tugas-tugas menulis yang mendorong para siwa untuk melihat kedalam agar dapat mengembangkan pengetahuan diri yang lebih besar . fred juga dengan teliti , tahu tentang bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang mulai dihadapi para siswanya dengan pertanyaan –pertanyaan yang masih berusaha dijawab dirinya sendiri.
Pendekatan Fred pada pengajaran munkin terangkum dengan stiker bemper pada mobil sport”gugat otoritas”. Berbeda dengan kebanyakan rekan gurunya , ia menginginkan para siswanya bereaksi secara kritis dan skeptic pada apa yang ia ajarkan pada mereka . ia juga mendorong mereka untuk berpikir secara mendalam dan berani mengenai makna kehidupan , kecantikan ,cinta, dan kematian. Ia menilai keefektifannya dengan tataran dimana para siswa mampu dan mau menjadi lebih tahu tentang pilihan-pilihan yang terbuka bagi mereka.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah sedikit mengenal filsafat eksistensialisme serta implikasinya terhadap pendidikan, dapat dikemukakan sedikit refleksi sebagai berikut.
Setiap pemikiran filsafat lahir tidak pernah lepas dari konteks zamannya, demikian pula dengan  eksistensialisme. Eeksistensialisme mengedepankan otonomi manusia dalam berhadapan dengan perkembangan sains dan teknologi. Secara epsitemologis, ada hal yang menarik dari eksistensialisme, bahwa manusia hendaknya menjadi manusia yang autentik, yang jujur dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya secara bertanggung jawab dengan rasionalitas dan perasaannya, tidak mencari justifikasi dan legitimasi dari sesuatu yang seakan-akan berada di luar dirinya, tetapi sebenarnya adalah kehendak diri yang dibalut norma sosial atau norma agama. 
Eksistensialisme menjadi tonggak penting perkembangan pendidikan. Pendidikan yang kembali kepada otonomi manusia atas alam, otonomi atas kehidupan. Manusia adalah subjek bagi kehidupan, maka tidak boleh direduksi menjadi sekrup dalam mesin ilmu pengetahuan dan teknologi. Eksistensialisme memberikan pencerahan bahwa pendidikan tidak semestinya membelenggu manusia. Oleh karena manusia adalah makhluk yang bebas dan kreatif, maka pendidikan harus pula menjadi wahana pembebasan dan kreativitas manusia. Dengan kata lain, pendidikan yang diilhami oleh eksistensialisme adalah pendidikan yang membumi, yang berhadapan dengan masalah-masalah kehidupan kongkrit yang dihadapi manusia. Hal ini ada kesejalanan dengan acuan filosofis strategi pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional perlu memiliki karakteristik yang (a) mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan dan peradaban; (b) mendukung diseminasi nilai keunggulan; (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagaman; (d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral.
DAFTAR PUSTAKA
Fasli Jalal & Dedi Supriadi. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta; Depdiknas – Bappenas - Adicita.Karya Nusa
Gutek,  Gerald L. 1988. Philosophical and Ideological Perspectives on Education. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Knight, George. R, 1982. Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan: Andrews University Press.
Notonagoro, 1987. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Penerbit Pancuran Tujuh