EKSISTENSIALISME
TENTANG
PENDIDIKAN
KELOMPOK IV
1. HUSNA NURDIAN
2. MUHAMAD FERDIAN
3. WINDA SULIYAWATI
4. RAHMAIDA SONIA
1.
PENDAHULUAN
Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. (Plato, 428 -348
SM). Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki
sebab dan asas segala benda. Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang
didalamnya tercakup empat persoalan ( metafisika, etika, agama, dan
antropologi).
Filsafat mempunyai berabagai cabang, dan juga diterapkan
dalam berbagai bidang seperti pada pendidikan, jadi ada filsafat pendidikan.
Antara filsafat dan pendidikan memiliki kaitan atau hubungan yang sangat erat,
sehingga melahirkan sebuah kajian filsafat pendidikan. (Barnadib, 1994: 7).
Adapun tiga aspek filsafat yang merupakan landasan pendidikan yaitu: metafisis,
epistimologis, dan aksiologis.
Aspek metafisis merupakan suatu aspek yang berhubungan
dengan realitas dan kenyataan. Aspek yang kedua adalah epistimologis yang berkaitan
dengan maslah pengetahuan termasuk masalah kebenaran. Ketiga adalah aksiologis
yaitu aspek yang berhubungan dengan nilai (value), baik nilai keindahan maupun
nilai kebaikan.
Filsafat pendidikan merupakan kelanjutan dari kajian
filsafat manusia ( antropologi filosofis). Filsafat manusia membahas
tentang apa yang menjadi hakekat dari manusia. Filsafat pendidikan tentunya
menjelaskan tentang apa pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan dalam pendidikan,
peserta didik adalah manusia, jadi dalam mengkaji filsafat pendidikan diiringi
dengan filsafat manusia.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang aliran filsafat
eksistensialisme dalam pendidikan, para tokoh-tokohnya dan bagaimana pandangan
eksistensialisme terhadap pendidikan.
2. pokok pengertian
a. Sejarah dan Pengertian
Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat
Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat
dan akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh
Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat
Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya
untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini
terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia
melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk
pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika
memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan. Nitzsche
(1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan
“bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi
unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan
berani.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia
adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada
tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut idealisme adalah
manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus berpangkalkan
eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang
kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti
keluar, sintesi berarti berdiri. Jadi ektensi berarti berdiri sebagai diri
sendiri.
b. Eksistensialisme dalam
Pendidikan
Menurut penjelasan di atas eksistensialisme adalah paham
yang berkaitan tentang individu atau diri pribadi seseorang, untuk eksis/bisa
menjadi seorang manusia. Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari
aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya
antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul
Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap
orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan
dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk
dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk
universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan
berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap
komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru
berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya
dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui.
Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis
menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya
sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi
fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti
kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara
lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk
memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan
kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi
dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat
perang dunia kedua. Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah
merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia
sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan
filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia
pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai
arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai
tema sentral.”
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian
eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak
logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan
rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki
dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat
oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu
dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan
kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum
Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas
dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to adalah lebih banyak menjadi
ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van
Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa
“Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam
segala bentuk. Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak
bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep
pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai
“Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker,
tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling
Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan,
merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran Eksistensialisme
tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.
c. Aspek Metafisik dan Pendidikan
Aspek metafisis itu berkaitan dengan realitas. Menurut
pandangan eksistensialisme realitas adalah subyektif, dengan eksistensi
mendahului essensi (J.P. Sartre). Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan
bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya
sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal,
setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang.
Pendidikan sebaiknya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan
pilihan sendiri. Manusia bukanlah makhluk sempurna, maka dari itu perlu
penyadaran diri dengan menerapakan prinsip-prinsip dan standar pengembangan
kepribadian.
d. Aspek Epistimologis dan Pendidikan
Aspek ini berkaitan dengan pengetahuan dan masalah
kebenaran. Jika dikaitkan dengan kurikulum yaitu menjadikan kurikulum yang
liberal. Ini merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki
aturan–aturan. Oleh karena itu di sekolah harus diajarkan pendidikan sosial
untuk mengajar respek rasa hormat terhadap kebasan untuk semua.
Proses belajar mengajar pengetahuan tidak ditumpahkan
melainkan ditawarkan. Untuk menjadi hubungan antara guru dengan siswa sebagai
suatu dialog.
e. Aspek Aksiologis dan Pendidikan
Aspek yang ketiga ini berhubungan dengan nilai (etika dan
estetika). Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas
untuk dipilih dan diambil. Etika sebagai tuntunan moral bagi kepentingan
pribadi tanpa menyakiti orang. Nilai keindahan ditentukan secara individual
pada tiap orang oleh dirinya
3.Aflikasi aliran eksistensialisme
dalam system pendidikan nasional
Prinsip Pembelajaran Yang
Menyenangkan
Pengembangan kompetensi guru,
terutama kompetensi profesional dan pedagogic berkaitan dengan proses
pembelajaran. Sejalan dengan perkembangan teknologi serta teori-teori
pembelajaran, maka guru pun dituntut mampu menguasai dan memilih pendekatan,
model, strategi, dan metode pembelajaran yang tepat, sehingga menjadikan siswa
aktif, kreatif, dan belajar dalam suasana senang serta efektif.
Menghadapi tugas tersebut guru tentu
harus menguasai strategi, metode, teknik pembelajaran dan bimbingan yang up
to date. Bila pengetahuan guru sudah ketinggalan, apa lagi hanya
mengandalkan pengalaman tanpa didukung teori-teori, maka guru tidak akan
mandapatkan respek dari para siswa yang dibinanya.
Salah
satu pendekatan dan strategi yang harus dikuasi guru adalah Pembelajaran yang
menyenangkan, Penguasaan guru berkenaan dengan Pembelajaran yang menyenangkan
ini diharapkan mampu menstimulasi terciptanya dinamika pembelajaran yang
sehat dan kondusif yang bermuata pada peningkatan mutu proses dan hasil
belajar.
Para ahli pendidikan berpendapat
bahwa proses pembelajaran di sekolah sampai saat ini cenderung berpusat kepada
guru. Tugas guru adalah menyampaikan materi-materi dan siswa diberi tanggung
jawab untuk menghafal semua pengetahuan. Memang pembelajaran yang berorientasi
target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat dalam
jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan masalah dalam
kehidupan jangka panjang.
Belajar
akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang mereka pelajari bukan
mengetahuinya, oleh karena itu para pendidik telah berjuang dengan segala cara
dengan mencoba untuk membuat apa yang dipelajari siswa disekolah agar dapat
dipergunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Salah
satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun
pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan
cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat
relevan bagi siswa, dengan memberikan ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar
menyadari dan menggunakan sendiri ide-ide, dan mengajak siswa agar menyadari
dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri dalam belajar. Guru dapat
memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingkat
pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus di upayakan sendiri siswa yang
memanjat tangga itu. Tingkat pemahaman siswa menurut model Gagne (1985) dapat
dikelompokan menjadi delapan tipe belajar, yaitu: (1) belajar isyarat, (2)
stimulus-respon, (3) rangkaian gerak, (4) rangkaian verbal, (5) membedakan, (6)
pembentukan konsep, (7) pembentukan aturan dan (8) pemecahan masalah (problem
solving).
Di
lihat dari urutan belajar, belajar pemecahan masalah adalah
tipe belajar paling tinggi karena lebih kompleks, Dalam tipe belajar pemecahan
masalah, siswa berusaha menyeleksi dan menggunakan aturan-aturan yang telah
dipelajari terdahulu untuk membuat formulasi pemecahan masalah. Lebih jauh
Gagne (1985) mengemukakan bahwa kata-kata seperti penemuan (discovery)
dan kreatifitas (creativity) kadang-kadang diasosiasikan sebagaii
pemecahan masalah.
Pendekatan
dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Oleh karenanya strategi dan
metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran tergantung pada
pendekatannya. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyatakan bahwa
dalam kegiatan inti pembelajaran merupakan proses untuk mencapai Kompetensi
Dasar (KD) yang harus dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemadirian sesuai
denganbakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.
Kegiatan pembelajaran ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui
proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
- B.
MAKNA, TUJUAN DAN PRINSIP PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN
- Makna Pembelajaran yang
Menyenngkan
Dalam
Pembelajaran Yang Menyenangkan digunakan prinsip-prinsip pembelajaran berbasis
kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi adalah pembelajaran yang dilakukan
dengan orientasi pencapaian kompetensi peserta didik. Sehingga muara akhir
hasil pembelajaran adalah meningkatnya kompetensi peserta didik yang dapat
diukur dalam pola sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.
- Tujuan Pembelajaran yang Menyenngkan
Pembelajaran
yang Menyenngkan berbasis PAIKEM membantu siswa mengembangkan kemampuan
berpikir tahap tinggi, berpikir kritis dan berpikir kreatif (critical dan
creative thinking). Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara
teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah menarik
keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah.
Berpikir kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan
kemurnian (orginality), ketajaman pemahaman (insight) dalam
mengembangkan sesuatu (generating). Kemampuan memecahkan masalah
merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Dalam
pembelajaran pemecahan masalah, siswa secara individual atau kelompok diberi
tugas untuk memecahkan suatu masalah. Jika memungkinkan masalah diidentifikasi
dan dipilih oleh siswa sendiri. Masalah yang diidentifikasi hendaknya yang
penting dan mendesak untuk diselesaikan serta sering dilihat atau diamati
oleh siswa sendiri, umpamanya masalah kemiskinan, kejahatan, kemacetan lalu
lintas, pembusukan makanan, wabah penyakit, kegagalan panen, pemalsuan produk,
atau soal-soal dalam setiap mata pelajaran yang membutuhkan analisis dan
pemahaman tingkat tinggi, Dsb..
- Prinsip-Prinsip yang Menyenngkan
Prinsip
pembelajaran menyenangkan yang merujuk pada pembelajaran dengan basis
kompetensi memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Berpusat pada
peserta didik agar mencapai kompetensi yang diharapkan. Peserta didik menjadi
subjek pembelajaran sehingga keterlibatan aktivitasnya dalam pembelajaran
tinggi. Tugas guru adalah mendesain kegiatan pembelajaran agar tersedia ruang
dan waktu bagi peserta didik belajar secara aktif dalam mencapai kompetensinya.
b. Integral agar
kompetensi yang dirumuskan dalam KD dan SK tercapai secara utuh. Aspek
kompetensi yang terdiri dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan terintegrasi
menjadi satu kesatuan.
c. Pembelajaran
dilakukan dengan sudut pandang adanya keunikan individual setiap peserta didik.
Peserta didik memiliki karakteristik, potensi, dan kecepatan belajar yang
beragam. Oleh karena itu dalam kelas dengan jumlah tertentu, guru perlu
memberikan layanan individual agar dapat mengenal dan mengembangkan peserta
didiknya.
d. Pembelajaran
dilakukan secara bertahap dan terus menerus menerapkan prinsip pembelajaran
tuntas (mastery learning) sehingga mencapai ketuntasan yang ditetapkan.
Peserta didik yang belum tuntas diberikan layanan remedial, sedangkan yang
sudah tuntas diberikan layanan pengayaan atau melanjutkan pada kompetensi
berikutnya.
e. Pembelajaran
dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, sehingga peserta didik menjadi
pembelajar yang kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi.
Oleh karena itu guru perlu mendesain pembelajaran yang berkaitan dengan
permasalahan kehidupan atau konteks kehidupan peserta didik dan
lingkungan. Berpikir kritis adalah kecakapan nalar secara
teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik
keputusan, memberi keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Berpikir
kreatif adalah suatu kegiatan mental untuk meningkatkan kemurnian (originality)
dan ketajaman pemahaman(insight) dalam mengembangkan sesuatu (generating).
Kemampuan memecahkan masalah (problem solving) adalah kemampuan tahap
tinggi siswa dalam mengatasi hambatan, kesulitan maupun ancaman. Metode problem
solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar
tetapi juga merupakan suatu metode berpikir, sebab dalam problem
solvingdapat menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data
sampai kepada menarik kesimpulan.
f.
Pembelajaran dilakukan dengan multi strategi dan multimedia sehingga memberikan
pengalaman belajaran beragam bagi perserta didik.
- C. KARAKTERISTIK
PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN
Sesuai
dengan Pembelajaran Yang Menyenangkan , maka pembelajaran yang berfokus pada
siswa, makna, aktivitas, pengalaman dan kemandirian siswa, serta konteks
kehidupan dan lingkungan ini memiliki 4 ciri yaitu: mengalami,
komunikasi, interaksi dan refleksi.
a.
Mengalami (pengalaman belajar) antara lain:
- Melakukan pengamatan
- Melakukan percobaan
- Melakukan penyelidikan
- Melakukan wawancara
- Siswa belajar banyak
melalui berbuat
- Pengalaman langsung mengaktifkan
banyak indera.
b. Komunikasi, bentuknya
antara lain:
- Mengemukakan pendapat
- Presentasi laporan
- Memajangkan hasil kerja
- Ungkap gagasan
c. Interaksi, bentuknya
antara lain:
- Diskusi
- Tanya jawab
- Lempar lagi pertanyaan
- Kesalahan makna berpeluang terkoreksi
- Makna yang terbangun semakin
mantap
- Kualitas hasil belajar
meningkat
d. Kegiatan Refleksi yaitu
memikirkan kembali apa yang diperbuat/dipikirkan.
- Mengapa demikian?
- Apakah hal itu berlaku untuk …?
- Untuk perbaikan gagasan/makna
- Untuk tidak mengulangi
kesalahan
- Peluang lahirkan gagasan baru
karakteristik pembelajaran yang menyenangkan
tersebut, maka guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk
menggunakan otoritas atau haknya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar,
memang berada pada diri siswa, tetapi guru bertanggung jawab dalam memberikan
situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, perhatian, persepsi, retensi, dan
transfer dalam belajar, sebagai bentuk tanggung jawab siswa untuk belajar
sepanjang hayat.
Sebagai
bahan kajian berikut ini disajikan sejumlah pandangan, persepsi, atau bahkan
kesalahpahaman berkenaan dengan implementasi peembelajaran yang menyenangkan
atau PAIKEM di sekolah.
1. PAIKEM
membutuhkan alat peraga yang banyak sehingga merepotkan dan membuat guru kurang
berminat.
2. PAIKEM
dipandang sebagai model pembelajaran yang mahal, sehingga tidak efektif untuk
diterapkan di sekolah.
3. PAIKEM hanya
diisi dengan bernyanyi dan main-main sehingga dipandang tidak efektif untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
4. PAIKEM hanya
cocok dilakukan oleh guru yang betul-betul memiliki selera humor yang tinggi
(sense of humor) dan rasa percaya diri yang tinggi
Dalam
situasi pembelajaran yang berlangsung secara monoton, siswa merasa “tersiksa”
dan bahkan seperti di penjara. Apalagiguru sebagai motivator dalam
pembelajaran hanya menggunakan metode ceramah, maka suasana
pembelajaran akan semakin menyiksa. Dalam rangka menerapkanmanajemen
berbasis sekolah (school based-management) yang umum disingkat MBS dan
pembelajaran aktif, perlu kiranya dipikirkan model pembelajaran yang
menyenangkan. Model pembelajaran tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kenyamanan tersendiri bagi siswa dalam belajar.
Untuk
menjadi guru impian maka
sebelum mengajar, seorang guru harus sudah merancang pembelajaran yang akan
disajikan. Dalam merancang pembelajaran tersebut guru dapat mendiskusikannya
dengan sesama guru, kepala sekolah, atau pengawas. Dalam diskusi tersebut
dibahas materi apa yang akan diajarkan, bagaimana metodenya, bagaimana alat
peraganya, dan bagaimana evaluasinya. Sering seorang guru dalam merancang
pembelajaran kehilangan seni mengajar. Artinya, mereka terlalu
terpaku kepada mekanisme yang sudah baku, runtut, dan terprogram. Dalam
merancang pembelajaran pun, seni yang akan ditampilkan dalam pembelajaran
mestinya sudah dipersiapkan pula. Pada bagian manakah mereka akan menyelinginya
dengan sense of humor sebagai bumbu dalam pembelajaran.
Ketika
mengajar, guru bisa saja menggunakan model pendampingan
pembelajaran. Biasanya, kegiatan seperti ini pada sekolah-sekolah yang sedang
melaksanakan sebuah uji coba. Kehadiran kepala sekolah atau pengawas di kelas
tidak dianggap sebagai momok bagi guru, melainkan menjadi mitra. Jika ada
sesuatu yang kurang mengena, maka guru dapat mengkonsultasikan dengan para
pendamping atau para pendamping secara aktif turut terlibat dalam pembelajaran.
Karena kelas sudah diubah suasananya sedemikian rupa, maka siswa tidak akan
merasa terkejut dengan kehadiran beberapa orang selain gurunya. Justru dengan
cara-cara yang komunikatif, maka siswa akan merasa diperhatikan.
Cara lain adalah guru merancang
pembelajarannya melalui sebuah diskusi dengan rekan sejawat atau kepala
sekolah, sedangkan dalam praktiknya, mereka tidak didampingi oleh orang lain.
Hanya saja yang perlu ditekankan adalah keterlibatan emosional siswa harus
benar-benar terjaga, sehingga suasana pembelajaran benar-benar aktif.
Dalam suasana pembelajaran aktif
saja sebenarnya pembelajaran yang menyenangkan sudah mulai tercipta. Apalagi
jika guru secara kreatif dapat menjalankan komunikasi dua arah yang
menyenangkan. Senyum guru, misalnya, mempunyai makna yang sangat
dalam bagi keberhasilan pembelajaran. Sebab, senyum itu dapat mencairkan
suasana yang beku, monoton, dan tidak menarik.
Guru
yang dapat membuat muridnya betah tinggal di kelas adalah guru yang
menyenangkan. Saya masih ingat ketika diajar oleh seorang guru SD yang
menyenangkan. Meskipun bel istirahat atau bel pulang sudah berdentang, rasanya
keinginan untuk beristirahat atau pulang tidak terlalu menggebu-gebu. Ada rasa
nyaman di kelas. Ada rasa damai karena Pak Guru telah menciptakan suasana kelas
dengan amat menyenangkan. MBS memberikan peluang bagi kepala sekolah atau guru
untuk menjabarkan kurikulum dan mengelola kelas dengan sebaik-baiknya. Tidak
ada lagi model-model pembelajaran yang dipaksakan. Justru jika
ada temuan-temuan yang kreatif mengenai model pembelajaran “baru”, maka guru
dapat menerapkannya di dalam pembelajaran.
Pembelajaran
yang menyenangkan mengandung
unsur “bermain” dalam kegiatan pembelajaran, apalagi untuk kelas I dan II SD.
Guru yang tidak bisa membawa anak-anak ke alam “permainan yang menyenangkan”,
jangan harap tujuan pembelajaran khusus akan tercapai. Bagaimana dengan siswa
kelas III-VI? Masih banyak cara untuk mengantar sebuah pembelajaran menjadi
menyenangkan. Guru dapat menggunakan alat peraga yang
dirancang bersama siswa. Kemudian mendiskusikan bersama. Pendeknya, siswa
benar-benar dilibatkan secara penuh dalam pembelajaran. Dengan demikian akan
terjalin sebuah hubungan yang menyenangkan pula. Batas otoritas guru dan siswa
sebagai komponen lain dalam pembelajaran sudah tidak terasa sama sekali. Yang
ada adalah kemitraan.
Maka,
dengan cara-cara seperti itulah pembelajaran akan benar-benar dapat
menyenangkan, baik bagi guru maupun siswa. Uji coba yang dilakukan di beberapa
sekolah untuk MBS, pembelajaran aktif dan partisipasi masyarakat, serta untuk
model pendampingan pembelajaran, menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar.
Jika model-model seperti itu dikembangkan di sekolah-sekolah lain di
Indonesia, maka pembelajaran akan benar-benar menyenangkan dan pada
akhirnya mutu pendidikan akan meningkat.Semua itu tentu
membutuhkan itikat baik pemerintah;
termasuk di dalamnya adalah kepala sekolah dan guru sebagai agen
sentral kurikulum. Semoga!
- D. MODEL
PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN
sejumlah model pembelajaran yang menyenagkan
dapat diguanakan dalam proses pembelajaran di sekolah, diantaranya yaitu
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran kooperatif
dengan berbagai tipenya, (seperti Student-Teams Achievement Divisions/STAD (Tim
Siswa Kelompok Prestasi),JIGSAW (Model Tim Ahli) dan GI (Group Investigation),
think-pair and share, numbered head together, picture and picture, examples non
examples, pengajaran berbasis inkuiri, pengajaran berbasis tugas/proyek
(Project based learning), demonstration, role playing, pemodelan (modelling),
dsb.
Dalam makalah ini hanya akan dibahas
tiga diantaranya secara singkat, yaitu :
- 1. Pembelajaran
Berbasis Masalah (Problem Based Learning) :
Pembelajaran berbasis masalah
(problem based learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
Pengajaran
berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi, termasuk
di dalamnya belajar bagaimana belajar. Pengajaran berbasis masalah, menurut
Ibrahim dan Nur (2002) dikenal dengan nama lain seperti Project-Based Teaching
(Pembelajaran berbasis Project), Experience-Based Education (Pendidikan
berdasarkan pengalaman), Authentic Learning (Pembelajaran Autentic). Danm Anchored
instruction (Pembelajaran berakar pada kehidupan nyata). Peranan guru dalam
pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan
dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah
pembelajaran berbasis masalah dan bagaimana peranan nguru di dalamnya dapat
digambarkan sbb.
Tahap 1: Orientasi siswa kepada
masalah :Guru menjelasakan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang
dibutuhkan dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan
masalah yang dipilih
Tahap 2 : Mengorganisir siswa untuk
Belajar :Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dsb.)
Tahap 3 : Membimbing penyelidikan
individual dan kelompok :Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah,
pengumpulan data, hipotesis, dan pemecahan masalah
Tahap 4Mengembangkan dan menanyakan
hasil karya :Guru membantu siswa dalam merencanakan, menyiapkan karya yang
sesuai sperti laporan, dan membantu mereka berbagai tugas dengan temannya
Tahap 5 :Menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah :Guru membantu siswa untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan prosesprosesyang mereka
gunakan.
2. Model Student Teams Achievement
Division (STAD)
Model
Student Teams Achievement (Tim Siswa Kelompok Prestasi) adalah salah satu model
pembelajaran kooperatif. Model ini dikembangkan oleh Robert Slavin dan
kawankawannya.
ini merupakan metode yang paling sederhana
dalam pembelajaran kooperatif. Para guru menggunakan pembelajaran STAD untuk
mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui
penyajian verbal manupun tertulis. Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi
beberapa kelompok atau tim masingmasing terdiri atas 4 atau 5 orang anggota
kelompok yang bersifat heterogen (baik jenis kelamin, ras, etnik, maupun
potensi akademik/kemampuannya). Tiap anggota kelompok menggunakan lembar kerja
akademik dan kemudian saling membantu untuk menguasai
bahan
ajar melalui Tanya jawab atau diskusi antar sesame anggota kelompok. Secara
periosik. Dilakukan evaluasi oleh guru untuk mengetahui tingkat penguasaan
mereka (baik individual maupun kelompok) terhadap bahan akademik yang telah
dipelajari. Setiap siswa atau tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan
ajar, dan kepada siswa secara individual atau tim yang meraih prestasi tinggi
atau memperoleh skorvsempurna diberi reinforcement.
Secara
singkat langkah-langkah pembelajaran STAD terdiri atas:
a. Mmembentuk kelompok heterogen a
4-5 orang anggotanya
b. Guru menyajikan pelajaran
c. Guru memberi tugas
d. Guru memberi kuis/pertanyaan
kepada seluruh siswa. Pada csaat menjawab kuis, tidak dibolehkan siswa saling
membantu.
e. Memberi evaluasi
f. Kesimpulan
3. Model Jigsaw (Model Tim Ahli)
Model
Jigsaw dikembangkan oleh Eliot Aronson dan kawan-kawannya dan kemudian
diadaptasi oleh Slavin dan kawan-kawannya. Seperti halnya pada m,odel STAD,
pada model Jigsawpun, kelas dibagi menjadi beberapa kelompok/tim a 4-5 orang
anggotanya yang bersifat heterogen. Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam
bentuk teks dan tiap siswa diberi tanggung jawab untuk mempelajari satu bagian
dari bahan akademik tersebut. Para anggota dari berbagai kelompok/tim yang
berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari satu bagian bahan akademik
yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bahan
tertsebut. Kelompok siswa yang dimaksud disebut ”kelompok pakar (expert
group)”. Sesudah kelompok pakar berdiskusi dan menyelesaikan tugas, maka
anggota dari kelompok pakar ini kembali ke kelompok semula (home teams) untuk
mengajar (membuat mengerrti) anggota lain dalam kelompok semula tersebut.
Secara sinbgkat, langkah-langkah
pembelajaran Jigsaw terdiri atas :
a. Siswa dikelompokkan menjadi
beberapa kelompok heterogen 4-5 orang
b. Tim anggota dalam kelompok/tim
diberi bagian materi yang berbeda
c. Anggota dari tim tim yang berbeda
yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru
(kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
d. Jika kelompok ahli selesai
mendiskusikan tugasnya, maka anggota kelompok kembali ke kelompok asal/semula
(home teams) untuk mengajar anggota lainnya dalam kelompok semula
e. Tiap kelompok/tim ahli
mempresentasikan hasil diskusi
f. Guru memberi evaluasi
g. Kesimpulan/penutup
4. Model Group Investigation (GI)
Dasar-dasar
metode group investigation (investigasi kelompok) dirancang oleh Herbert
Thelen, selanjutnya dikembangkan oleh oleh Sharan dan kawan-kawannya.
Dibandingkan dengan model STAD dan
Jigsaw, group investigation merupakan model pembelajaran yang lebih kompleks
dan paling sulit dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Pada model group
investigation, sejak awal siswa dilibatkan mulai dari tahap perencanaan baik
dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi.
Dalam pelaksanaanya, mempersyaratkan para siswa untuk memiliki kemampuan yang
baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok.
Pengelompokan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil a 5-6 orang dapat bersifat
heterogen dan dapat juga didasarkan pada kesenangan berteman atau kesamaan
minat. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti/melakukan investigasi
mendalam
terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan
menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan
Secara singkat langkah-langkah group
investigation adalah sbb. :
a. Guru membagi kelas dalam beberapa
kelompok heterogen
b. Guru menjelaskan maksud
pembelajaran dan tugas kelompok
c. Guru memanggil ketua kelompok dan
setiap kelompok mendapat tugas satu materi/tugas yang berbeda dari kelompok
lain
d. Masing-masing kelompok membahas
materi yang sudah ada secara kooperatif yang bersifat penemuan
e. Setelah selesai diskusi, juru
bicara kelompok menyampaikanhasil pembahasan kelompok
f. Guru mwmbwri penjelasan singkat
dan sekaligus memberikan kesimpulan
g. Penutup.
D. PENUTUP
Disamping
mnode-model pembelajaran yang dikemukakan di atas, dalam konteks pembelajaran
masih tersedia cukup banyak model-model pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif,
Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru di
kelas. Sebagai guru yang profesional, seyogianya setiap guru selalu berupaya
mengembangkan/meningkatkan kemampuannya dengan mengkaji berbagai model
pembelajaran tersebut dan yang tidak kurang pentingnya adalah menuntut komitmen
dari setiap guru untuk senantiasa memilih dan menerapkan model pembelajaran yang
terbaik untuk kepentingan peserta didik
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi
terhadap materialisme dan idealisme Pendapat materialisme terhadap manusia
adalah manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek.
Tujuan pendidikan menurut pandangan eksistensialisme adalah
untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri dengan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komprehensif
dalam semua bentuk kehidupan.
Aspek-aspek:
1. Aspek metafisika
(hakekat kenyataan), pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui
peyadaran diri dengan menerapkan prinsip dan standar pengembangan kepribadian.
2. Aspek Epistimologi (hakekat
pengetahuan), data internal pribadi, acuannya kebebasan memilih.
3. Aksiologi (hakekat
nilai), standar dan rinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk
dipilih dan diambil.
DAFTAR PUSTAKA
Makalah
Filsafat Pendidikan Kelompok 9 (Aliran-aliran Filsafat Pendidikan) « Pba09's
Blog.htm
Achmad
Dardiri. Aspek-aspek Filsafat dan Kaitannya Dengan Pendidikan.Majalah
Ilmiah Fondasi Pendidikan, Volume 1.